Info Reggae Sumut

Rabu, 03 Mei 2023

Sejarah Musik Reggae , Begini Ulasan Lengkapnya


Reggae adalah suatu aliran musik yang berawal dan berkembang di Jamaika pada akhir era 60-an. Istilah reggae lebih tepatnya menyatakan pada gaya musik khusus yang muncul mengikuti perkembangan ska dan rocksteady.

Reggae berbasis pada gaya ritmis yang bercirikan aksen pada off-beat atau sinkopasi, yang disebut sebagai skank. Pada umumnya reggae memiliki tempo lebih lambat daripada ska maupun rocksteady.

Utamanya “ketukan ketiga” tersebut, selain tempo dan permainan bassnya yang kompleks yang membedakan reggae dari rocksteady, meskipun rocksteady memadukan pembaruan-pembaruan tersebut secara terpisah.

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae.

Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika saat itu.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). 

Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. 

Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. 

Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.

Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. 

Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.

Album “Catch A Fire” (1972) yang diluncurkan Bob Marley and The Wailers dengan cepat melambungkan reggae hingga ke luar Jamaika. Kepopuleran reggae di AS ditunjang pula oleh film The Harder They Come (1973) dan dimainkannya irama reggae oleh para pemusik kulit putih seperti Eric Clapton, Paul Simon, Lee ‘Scratch’ Perry dan UB40. 

Irama reggae pun kemudian mempengaruhi aliran-aliran musik pada dekade setelahnya, sebut saja varian reggae hip hop, reggae rock, blues, dan sebagainya.

Jamaika

Akar musikal reggae sungguh erat dengan tanah yang melahirkannya: Jamaika. Saat ditemukan oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”. 

Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memunahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. 

Sejarah kelam penindasan antar manusia pun dimulai dan berlangsung hingga lebih dari dua abad. Baru pada tahun 1838 praktek perbudakan dihapus, yang diikuti pula dengan melesunya perdagangan gula dunia.

Di tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming) sederhana. 

Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika. Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.

Musik reggae sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum rastafaria) di Kingson ibu kota Jamaika. Inilah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran rastafari yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian. 

Masuknya reggae sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga mempengaruhi banyak musisi dunia lainnya, otomatis mengakibatkan aliran musik satu ini menjadi barang konsumsi publik dunia. 

Gaya rambut gimbal atau dreadlock serta lirik-lirik ‘rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dalam kata lain, dreadlock dan ajaran rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.

Musik reggae, sebutan rastaman, telah menjadi satu bentuk subkultur baru di negeri ini, di mana dengannya anak muda menentukan dan menggolongkan dirinya. Di sini, musik reggae menjadi penting sebagai sebuah selera, dan rastaman menjadi sebuah identitas komunal kelompok social tertentu. 

Tinggal bagaimana para pengamat social dan juga para anggota komunitas itu memahami diri dan kultur yang dipilihnya, agar tidak terjadi penafsiran keliru yang berbahaya bagi mereka. Penggunaan ganja adalah salah satu contohnya, di mana reggae tidak identik dengan ganja serta rastafarianisme pun bukanlah sebuah komunitas para penghisap ganja.

Sebuah lagu dari “Peter Tosh” (nama aslinya Peter McIntosh), pentolan The Wairles yang akhirnya bersolo karier. Dalam lagu ini, Peter Tosh menyatakan dukungannya dan tuntutannya untuk melegalkan ganja. Karena lagu ini, ia sempat ditangkap dan disiksa polisi Jamaika.

Menurut sejarah Jamaica, budak yang membawa drum dari Africa disebut “Burru” yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut “talking drums” (drum yang bicara) yang asli dari Africa Barat. “Jonkanoo” adalah musik budaya campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum, rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. 

Acara ini muncul saat natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka berkomunikasi dengan drum dan conch itu. 

Tahun berikutnya, Calypso dari Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan ke orang – orang Jamaika untuk membentuk sebuah campuran baru yang disebut Mento. 

Mento adalah musik sederhana dengan lirik diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker, scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada tahun 1920 sampai 1930 dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati sajian turisme. 

SKA yang sudah muncul pada tahun 40 – 50an sebenarnya disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing, Rythym & Blues dari Amrik. SKA sebenarnya adalah suara big band dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat “bop”. Ska kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian “skankin” pad awal 60an. Bintang Jamaica awal antara lain Byron Lee and the Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai pencipta “ska”. Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya pada pertengahan 60an memunculkan “Rock Steady” yang punta tune bass berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan menjadi musik dance Jamaika pertama di 60an.

“Reggae & Rasta”

Bob Marley tentunya adalah bintang musik “dunia ketiga” pertama yang jadi penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan reggae lebih universal. Meskipun demikian, reggae dianggap banyak orang sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley. Ditambah lagi dengan hadirnya “The Harder they Come” pada tahun 1973, Reggae tambah dikenal banyak orang. 

Meninggalnya Bob Marley kemudian memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. 

Rasta adalah jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley untuk menyebarkan Rasta keseluruh dunia. Musik yang luar biasa ini tumbuh dari ska yang menjadi elemen style American R&B dan Carribean. 

Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh : folk music, musik gereja Pocomania, Band jonkanoo, upacara – upacara petani, lagu kerja tanam, dan bentuk mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan – pertemuan Rasta, menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater : contoh ada di Mystic Revelation of Rastafari). 

Akar reggae sendiri selalu menyelami tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah Jamaica merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai kejadian monumentalpun terjadi seiring perkembangan ini.

“Apa sih Reggae”

Reggae sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan Blues serta folk (lagu rakyat) Jamaika. Gaya sintesis ini jelas menunjukkan keaslian Jamaika dan memasukkan ketukan putus – putus tersendiri, strumming gitar ke arah atas, pola vokal yang ‘berkotbah’ dan lirik yang masih seputar tradisi religius Rastafari. Meski banyak keuntungan komersial yang sudah didapat dari reggae, Babylon (Jamaika), pemerintah yang ketat seringkali dianggap membatasi gerak namun bukan aspek politis Rastafarinya. “Reg-ay” bisa dibilang muncul dari anggapan bahwa reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik soul Amerika namun dengan ritem yang ‘dibalik’ dan jalinan bass yang menonjol. 

Tema yang diangkat emang sering sekitar Rastafari, protes politik, dan rudie (pahlawan hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (ska & rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika – Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi ‘lubang – lubang’ iringan yang kosong serta drum yang kompleks. 

Di Reggae kontemporer, permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.

“Tidak asli Jamaika”

Reggae memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, ska berasal berasal dari New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio Amrik lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan gitar pas – pasan dan putus – putus adalah interprestasi mereka akan R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. 

Selanjutnya semasa musim panas yang terik, merekapun kepanasan kalo musti mainin ska plus tarinya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae. Sejak itu, Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan musik Rock (sekarang). 

Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja ato rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae musik bukan cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.

“It’s Influences”

Saat rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua dekade. Hits – hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees. Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari dunia tersendiri. 

Budaya ‘Dancehall’ Jamaika yang menonjol plus sound system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.

Sumber : Indoreggae

Kamis, 27 April 2023

Reggae Sebagai Musik Perjuangan dan Pembebasan



Bagi sebagian orang, musik reggae adalah musik pembebasan, musik perlawanan. Beberapa orang juga mengatakan bahwa reggae adalah identitas, reggae adalah jiwa dan nafas kehidupan, membentuk dan menentukan sikap. 

Bahkan bagi beberapa orang, reggae mampu mengubah pemikiran dan pandangan hidup seseorang.

Dinez Lubis, dari Reggaenerasi Team dan Reggaenerasi Sumut mengatakan, spirit musik reggae seperti yang tertulis dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan di atas dunia harua dihapuskan.

"Setegas itu lah reggae itu sebenarnya. Reggae lahir dari benih perjuangan, perlawanan dan pembebasan. Sebagaimana musik sangat berperan pada masa-masa kemerdekaan Jamaika," katanya kepada medanbisnisdaily.com, di Medan, Senin (4/9/2017).

Beberapa waktu lalu, Reggaenerasi Team dan Reggaenerasi Sumut menggelar Song For Freedom sebagai bentuk perayaan kemerdekaan RI di Rockoffie Kafe and Studio, di Jalan Amal, Sunggal. 

Di kafe ini, berbagai komunitas dari berbagai genre musik kerap menggelar even untuk mempererat silaturahmi sembari menyebar energi positif dan terus berkarya.

Song for Freedom adalah sebuah gelaran yang dimaknai sebagai pendorong semangat kemerdekaan untuk Indonesia maupun Jamaika yang sama-sama di bukan Agustus.

"Reggae dari tempat asalnya, Jamaika, pada dasarnya adalah musik yang kental dengan sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap para penjajah.

Hal tersebut bisa dilihat dari lirik-lirik lagu Bob Marley ataupun musisi-musisi reggae lainnya.

"Reggae bukan lagu yang identik dengan santai, pantai, mancai. Mungkin lagu reggae yang bercerita soal itu karena berkaitan dengan industri (musik). Tapi sebenarnya reggae itu akarnya adalah perjuangan dan perlawanan," katanya.

Senin (28/8/2017), wajah Bob Marley di selembar kain persegi di samping drum menjadi pusat perhatian di sebuah kafe di Jalan Amal, Sunggal, Medan. 

Warna merah kuning dan hijau seperti menjadi petunjuk bahwa lagu-lagu reggae bakal 'berkumandang' di panggung kecil di pojok ruangan.

Benar saja, Reggaenerasi Sumut, di bawah Reggaenerasi Team sedang menggelar Song for Freedom, sebuah acara yang mengetengahkan band-band reggae untuk tampil dan menjamu tamu-tamu kafe, tempat tongkrongan musisi, pengamat, dan penikmat musik.

Di flyer atau infografis yang disebar melalui ejaring sosial sosial, beberapa band reggae Medan, seperti Nature Batih, jamming session dari Reggaenaration All Star (Relatif), ada pula sharing session yang membahas mengenai reggae dan semangat perjuangan, sesuai dengan tema kemerdekaan RI.

Nature Batih, band yang di dalamnya Yasir, yang dulunya sering bermain jimbe dan drum, kini memegang gitar dan menjadi front man. Dia bernyanyi dengan penuh 'emosi'. 

Rambut gimbalnya yang tak terlalu panjang memang mengingatkan pada sosok legendaris, Bob Marley. Yasir dan Bob Marley sama-sama memiliki jenggot tipis.

Nature Batih menjadi band yang pertama tampil dan berhasil membius penonton dengan beberapa lagu-lagu reggae, tentunya lagunya Bob Marley seperti Could You Be Loved, Stir It Up, dan lain sebagainya. 

Tapi, dari lagu-lagu yang dimainkannya, Nature Batih yang logo bandnya menonjolkan warna merah dan hitam itu menyanyikan lagu Indonesia Tanah Air Beta.

Namun, jika biasanya lagu tersebut dinyanyikan dengan penuh khidmat, kali ini lagu tersebut memiliki 'nyawa' berbeda yang khas musik Jamaika. 

Ya, Nature Batih mengaransemen lagu karya Ismail Marzuki dengan musik reggae. Saat bernyanyi pun Yasir tak perlu banyak bersuara lantaran penonton ikutan koor hampis sepanjang lagu.

Sumber: https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2017/09/04/4465/reggae_sebagai_musik_perjuangan_dan_pembebasan/

Dendang Reggae di Urban Club Hibur Masyarakat Medan


(Medan) - Komunitas yang menaungi band reggae Kota Medan, Reggaenerasi Sumut, menggelar Reggae Sunday di Urban Club Hotel Danau Toba Medan, Minggu (5/3/2017).

Ketua panitia penyelenggara, Dinez Lubis mengatakan, acara tersebut digelar dalam rangka berseni kualitas musik khususnya musik reggae di Kota Medan.

"Kami mengadakan ini untuk mengajak penikmat musik di Kota Medan untuk berseni dalam musik reggae," kata Dinez Lubis.

Dalam acara tersebut, sejumlah band reggae hadir membawakan lagu ciptaan mereka masing-masing seperti band Ampas Kopi yang membawakan lagu berjudul Halak Kita

Selain itu, ada juga band reggae di Kota Medan yakni Ser &Joy Organic , GPS, dan, Simpoel

Sementara Pengelola Urban Club, Richard Pardede menjelaskan, acara ini terselenggara untuk mendukung komunitas band anak Medan berseni musik.

"Semoga acara ini berlanjut dan mendapat perhatian komunitas band di Medan," tuturnya.

Dalam acara tersebut juga ada stand kreatif yang menjajakan t-shirt, aksesoris dan pernak pernik serba reggae.

Sumber : https://analisadaily.com/berita/arsip/2017/3/5/332012/dendang-reggae-di-urban-club-hibur-masyarakat-medan/

Rabu, 26 April 2023

Reggae Man Tidak Harus Gimbal

 



KALA rambut gimbal dikultuskan sebagai kaum para penikmat musik reggae. Apakah simbol ini sahih menjadi identitas perlawanan dan kebebasan? Waktu yang terus mem­pertontonkan realitas, tak pernah mampu menampik tentang anak-anak manusia yang memilih sikap hidupnya melalaui reggae. Ya reggae adalah gaya hidup!

Sejarah Afrika nun jauh di masa lampau diyakini oleh generasi millenial sampai saat ini. Seperti yang dikutip dari buku Rasta dan Perlawanan karya Horace Campbell (1989), reggae berasal dari kata-kata ‘Toots and The Maytals’ yang menyanyikan lagu ‘Do The Reggae’ pada 1967 silam. 

Sumber tertulis itu menyebut, irama reggae lebih pelan diban­dingkan dengan rock steady dan irama tambur musik reggae pun dipelankan menjadi apa yang disebut skank.

Patrick Hilton dalam Campbell juga me­nguat­kannya, dengan mengatakan puisi-puisi kebudayaan bersumber dari sejarah dan pengalaman orang-orang yang mengem­bangkannya. Demikian juga dengan musik calypso dan reggae, yang merupakan produk-produk pengalaman historis bangsa Afrika yang ada di Karibia.

Sementara itu, medium ekspresi protes dan sentimen orang-orang Afrika di Amerika juga telah menemukan beberapa bentuknya, seperti isi dan semangat musik jazz dan blues yang ditemukan pada kaum negro Amerika (Afro–Amerika). 

Sama halnya dengan reggae masa kini di Jamaika yang merefleksikan pesan yang sama, yaitu sebuah reaksi terhadap eksploitasi dan penindasan atas orang-orang Afrika di benua baru.

Ini sudah 2017, na­mun semangat itu ma­sih lekat dalam jiwa para anak manusia yang menyebut diri­nya sebagai reggae man itu. Pesan reggae yang tumbuh karena semangat anti per­bu­dakan di masa itu nya­tanya masih lekat de­ngan situasi yang ter­jadi di masa sekarang.

Jika di masa itu mu­­sik reggae meru­pakan penyatuan pe­mikiran dan sikap da­lam me­lawan rezim per­bu­dakan, dalam situasi ke­kinian reggae men­jadi alat untuk meng­kritik situasi dan kea­daan. 

Meskipun prak­tiknya masih da­lam ruang lingkup ke­cil (pertemanan, k­e­luar­ga, pekerjaan), na­mun be­nang merahnya sama saja, yakni ‘la­wan’; ‘melawan’; ‘per­­­­la­wa­nan’.

Persis diakui Ryan Rega (19). Me­nurutnya reggae be­rasal dari ha­ti. Begitupun tak dipung­kirinya, reggae sudah menjadi budaya. Artinya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai reggae man tidak harus gimbal. Seperti penampilan Ryan. 

Tak ada kesan reggae man seperti umum­nya penampilan reggae man. Namun Ryan berpenampilan apa adanya. Berambut pendek, laiknya anak lelaki pada umumnya.

“Reggae adalah pure music. Reggae music rocking my bone. Reggae is more and more,” katanya kepada Analisa.

Musik Perlawanan


Mendalami reggae lebih dekat, diakuinya sejak 2015. Baginya ini musik perlawanan. Dia ingin menyampaikan tentang perlawanan, bahwa setiap orang adalah sama. Tidak pernah ada kelas-kelasnya.

Hal ini juga diaminkan Reza (25). Dika­takannya, reggae adalah tradisi, sama seperti budaya. “Ini merupakan musik penjiwaan,” ucapnya.

Mengenal reggae sejak sekolah dasar, kemudian pada 2010 dia mendalami musik ini lebih dalam. Pendapat keduanya tak dibantah Ezy (23), seorang ibu rumah tangga yang juga menyukai reggae. Siapa pun bisa menikmati musik ini, tanpa memandang usia, bahkan tanpa mempertimbangkan jenis kelamin.

Begitu halnya dengan Fahmi. Menariknya, mahasiswa di salah satu kampus di Medan ini justru berambut panjang, bukan berambut gimbal. “Aku suka reggae, karena mengajarkan tentang sikap idealis dalam perbuatan.”

Sayangnya reggae muncul bukan sebagai budaya tradisi. Itu juga yang menyebabkan tumbuh kembang reggae di Medan tidak kuat. Itu pula yang menjadi alasan, mereka yang menyebut dirinya sebagai reggae man malah hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Malah reggae identik dengan perilaku negatif.

Pentolan musik ini adalah Bob Marley, ungkap Dinez, satu anak muda lainnya di antara mereka. “Dia selalu menyerukan kepada banyak orang agar ‘memerdekakan’ diri dari perbu­dakan mental, tak seorang pun kecuali diri kita yang dapat memerdekakan pikiran kita.”

“Lagu-lagu Marley-lah yang kian membakar semangat para kaum muda untuk semakin gigih dalam melawan segala bentuk penindasan di Jamaika, bahkan di seluruh muka bumi,” bebernya.

Ditambahkan Dinez, reggae ala Marley, kian dikenal luas ke seluruh dunia. Bahkan hampir di seluruh Benua Afrika, musik ini adalah lagu wajib bagi perjuangan melawan bentuk perbu­dakan di benua hitam tersebut. 

Dengan menjadikan reggae sebagai gaya hidup, maka musik ini akan terus mengingatkan kita tentang baik dan buruk.

“Jika orang tidak suka, itu tak mengapa. Yang penting sebagai anak muda, inilah proses kami untuk bersikap,” akhirnya.





Rabu, 19 April 2023

Jamaican Sound ala Sumut Bangkit Lagi

Jamming Session di Reggae Night Party, Plano Coffe, Medan (26/6/2022)


Medan - Lama tak bergeliat karena pandemi dan kesibukan, Dinez Lubis akhirnya kembali menyapa penikmat Jamaican Sound Medan pada Minggu (26/6) malam di Plano Coffee Medan. Diketahui Dinez inisiasi project musikalitas terbaru bernama Mas Din & De Woles.

Masdin & De Woles membuka acara dengan hentakan musik Medley dari berbagai daerah seperti Sinanggar Tulo, Gundul - Gundul Pacul dan Sajojo yang dibalut dengan ala musik reggae.

Dilanjutkan dengan memainkan lagu Bob Marley seperti Stir It Up dan Lagu Katchafire berjudul Collie Herb Man. Tak ketinggalan juga beberapa lagu dari Steven Coconut Treez dan Imanez dibawakan dalam kesempatan event tersebut.

Khusus untuk lagu Steven & Coconut Treez yang dibawakan untuk mengenang 1 tahun in memoriam almarhum Steven Nugraha Kaligis sosok legenda musisi reggae Indonesia.

"Mengenang 1 tahun kepergian sosok legenda musik reggae Indonesia yaitu Steven Nugraha Kaligis biasa dipanggil Tepeng," kata Dinez Lubis vokalis grup musik reggae Masdin En De Woles, Selasa (28/6).

Performance selanjutnya menampilkan Stasiun 74 Reggae yang membawakan dentuman jamaican sound system melalui perangkat digitalnya. Musik Reggae Dub pun bergema di event ini. Filsafatian menutup sesi spesial performance dengan membawakan lagu karya sendiri seperti Negeri Kompromi, Tebar Vibrasi Positif, Kawan Lama, Sada Saroha, dan Jim'S Coffe Philosophy.

Penonton yang hadir terlihat ikut bernyanyi. Tidak hanya lagu sendiri dimainkan, Filsafatian menghentak lantai dansa dengan memainkan lagu Bob Marley Concreate Jungle serta, Rancid berjudul Radio.

Acara Reggae Night Party turut didukung oleh berbagai komunitas dan menghadirkan lapak art market place seperti Rocksteady Medan, Minorya Art, Recyclo Goods, dan Crezy Art.

"Semoga acara ini menjadi momentum bangkitnya geliat komunitas jamaican sound di Medan maupun Indonesia," tandas Dinez, penggiat musik reggae Kota Medan.

Adapun Gigs Reggae Night Party ini diinisiasi oleh Jamaican Sound Medan bersama Plano Coffe cukup membuat antusias penikmat maupun pecinta musik reggae di Kota Medan.